Suku Baduy Dalam



Kelompok Baduy dalam atau Tangtu ini adalah kelompok yang tinggal di dalam hutan dan juga paling patuh pada aturan yang sudah ditetapkan oleh kepala adat mereka.

Ciri khas dari suku Baduy dalam ini adalah pakaiannya yang tidak berkancing dan berkerah, tidak memakai alas kaki, dan pakaiannya berwarna putih atau biru tua.

 Suku Baduy dalam ini juga tidak mengenal teknologi, uang dan sekolah sehingga hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa asli mereka, yaitu bahasa Sunda dan membaca huruf atau aksara Hanacara.





Faktor demografi

Suku Baduy Dalam  atau biasa disebut Orang kanekes tinggal di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini berada sekitar 38 Km dari ibu kota kabupaten atau 120 km dari Jakarta. Masyarakat Badui dapat digolongkan sebagai masyarakat masyarakat primitif. Kehidupan masyarakatnya masih memenuhi kebutuhan hidupnya pada kebutuhan-kebutuhan yang paling dasar atau pokok.

Pergaulan dengan dunia luar membuat masyarakat Baduy bersentuhan
dengan teknologi modern yang selama ratusan tahun dilarang oleh adat. Seiring perkembangan zaman, banyak terjadi perubahan social pada masyarakat Baduy Dalam. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat baduy termasuk Teori Evolusi (Evilution Theory)



Hal yang paling mempengaruhi perubahan social pada Suku Baduy Dalam adalah ketidak puasan masyarakat pada bidang  bidang tertentu dalam kehidupan. Perlahan, kesadaran akan nilai dan norma social Baduy setiap keluarga pun mulai memudar dengan munculnya keinginan untuk mengalami kehidupan lain. Mereka ingin memperbaiki kehidupan mereka, seperti menggunakan teknologi yang tidak mereka kenal selama ini. Kesadaran untuk menjaga adat istiadat adalah kunci masyarakat Baduy untuk tetap eksis di tengah mordenisasi ini.




Kepribadian dan Kebudayaan suku Baduy


Orang tak bisa menuding begitu saja, bahwa suku Baduy Dalam terbelakang. Ternyata, mereka menguasai teknik pertanian dan bercocok tanam dengan baik, sembari tetap menjaga kelestarian lingkungan.  “Mereka memang tak bersekolah. Belajar di ladang dan menimba kearifan hidup di alam terbuka adalah sekolah mereka”, tutur Boedihartono,  antropolog dari Universitas Indonesia, yang pernah meneliti suku Baduy selama beberapa tahun. 

“Yang amat menggembirakan, tingkah laku yang meneladani moralitas utama, menjadi acuan utama bagi kepribadian dan perilaku orang Baduy dalam kehidupan mereka sehari-hari. Perkataan dan tindakan mereka pun polos, jujur tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Karena itu, banyak merasa senang jika berurusan dengan orang Baduy karena mereka pantang merugikan orang lain”, ujarnya lagi.

Akan tetapi, amatlah sukar menjaga keheningan tetap bertahan dalam dunia modern yang serba hiruk pikuk ini.  Misalnya kini, mulai tampak anak-anak Baduy yang “meninggalkan” pakaian tradisional mereka, berupa kain tenunan tangan dengan warna hitam dan putih, dengan memakai kaos ala seragam kesebelasan sepakbola Italia yang “berteriak” dengan warna-warni meriah. Mereka yang selama ini menabukan jual beli dan penggunaan uang, dengan menetapkan pola barter, akhirnya mulai terlibat proses dagang.


Bagian selatan dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana. Kelompok tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut Pu’un. Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Berikut ini kebudayaan suku baduy dalam:

1. Kelompok Masyarakat

Kelompok tangtu merupakan kelompok baduy dalam yang bertempat tinggal di pedalaman hutan yang letaknya masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. suku ini paling patuh pada hukum adat berupa aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh kepala adat, masyarakat baduy dalam terdiri dari tiga wilayah penyebaran yaitu di kampung Cibeo, Cikartawan, dan Cikeusik. Ciri khas yang dimiliki oleh masyarakat suku baduy dalam adalah dari pakaianya yang masih memakai pakaian berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih dan golok.


2. Bahasa

Suku baduy pada umumnya menggunakan bahasa dengan dialek sunda-banten sebagai alat komunikasi dengan masyarakat luar. Masyarakat suku baduy sebenarnya menegerti bahasa indonesia walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Karena masyarakat baduy tidak mengenal sekolah sehingga mereka hanya tidak menegenal budaya tulis menulis. Usaha pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di wilayah tersebut ditolak keras olah masyarakat baduy, karena menurut mereka pendidikan sanagat berlawanan dengan adat istiadat mereka.



3. Pakaian

Para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, serba putih polosyang merupakan simbol  dari makna suci bersih karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilubangi pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatan busana ini hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang kemudian ditenun.

Untuk di bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang, sarung kemudian diikat dengan selembar kain. Kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala warna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk Masyarakat Baduy yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.





Daftar Pustaka:

Iwan Tega Prihatin, Baduy, real green living: suku pedalaman Banten, Indonesia, Canting Exploring Indonesia, 2012

Mundardjito., Etnoarkeologi: Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi di Indonesia, dalam Majalah Arkeologi, 1980

1993 Masyarakat Baduy di Banten, dalam Koentjaraningrat  Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia . 

Comments

Popular posts from this blog

6 BUDAYA ORANG PERANCIS

ISD Sebagai Salah Satu MKDU